Senin, 16 April 2018

Review Film "Jembatan Pensil"

                           
                             ”Jembatan Pensil”
                                      Grup VI :
                            Nurain Kahembau
                            Ade Putriani Kawulusan
                            Fijay Pratama Putra
                            Wiranda Mamonto
                            Sriayu Paputungan




Identitas Film
Judul : Jembatan Pensil
Produksi : Grahandhika Visual
Produser Eksekutif : La Ode Haerun Ghowe
Produser : Tyas Abiyoga
Produser Pelaksana : Rahmat Suardi
Sutradara : Hasto Broto
Penulis Skenario : Exan Zen
Karakter
1. Anak-anak :
Didi Mulya : Ondeng
Azka Marzuki : Azka
Permata Jingga : Yanti
Nayla D. Purnama : Nia
Angger Bayu : Inal
Vickram Priyono : Attar
2. Dewasa :
Kevin Julio : Gading
Andi Bersama : Pak Guru
Alisia Rininta : Bu Aida
Meriam Bellina : Ibu Farida
Agung Saga : Arman
Film Jembatan Pensil (2017) bercerita tentang perjuangan dari lima anak-anak yaitu Inal, Yanti, Nia, Aska, dan Ondeng yang masih sekolah dasar, mereka bersekolah di sebuah sekolah gratis yang sangat sederhana yang dibangun oleh pak guru. Inal yang tuna netra dan juga Ondeng yang mempunyai keterbelakangan mental (down syndrome), namun bukan menjadi penghalang dalam persahabatan mereka, namun sebaliknya mereka selalu saling menjaga dan menolong satu sama lain layaknya sebuah keluarga. Walaupun Inal yang tidak dapat melihat dan Ondeng memiliki keterbelakangan mental tapi mereka dengan begitu semangat tetap sekolah seperti anak-anak pada umumnya dan tetap menikmati masa-masa sekolah mereka dengan gembira walaupun harus melalui perjalanan yang berliku dan sangat jauh jaraknya dengan keadaan jalan yang sangat tidak memungkinkan untuk berangkat dan pulang dari sekolah.
Mereka belajar dalam kelas yang hanya beralaskan tanah, murid yang hanya seadanya dan juga bangunan yang jauh dari kata layak dan diajari oleh seorang guru tanpa upah sepeserpun, hanya terkadang dibantu oleh anak perempuan dari guru tersebut namun mereka selalu bahagia dan gembira. Jembatan yang di maksud dalam judul film ini ialah jembatan penyeberangan bagi anak-anak untuk menuju ke sekolah yang menjadi impian Ondeng agar keempat temannya dapat menyeberang untuk ke sekolah.
Kelebihan film ini :
1. Film ini mengajarkan bagaimana untuk menjadi seseorang yang setia kawan tanpa memandang apapun, semangat dalam menuntut ilmu walaupun dalam keterbatasan.
2. Film ini juga memperlihatkan bahwa setiap anak itu mempunyai bakat masing-masing dan bakat itu perlu dibina oleh kita sebagai calon guru nantinya, bukan malah dibanding-bandingkan dengan bakat yang dimiliki siswa lain. Karena setiap kekurangan pasti diikuti oleh kelebihan.
3. Film ini juga memperlihatkan betapa pentingnya pendidikan bagi kehidupan kita, juga mengandung makna bahwa ketika kita selesai dan sarjana nanti jangan selalu memprioritaskan sesuatu pada uang karena diluar sana khususnya di pedalaman banyak sekali anak-anak yang sangat membutuhkan ilmu dari kita, prioritaskanlah pengabdian kita kepada masyarakat khususnya dalam dunia pendidikan.
4. Film ini juga mampu menggambarkan bagaimana kegiatan sehari-hari penduduk yang berada di Sulawesi Tenggara yang perekonimiannya dibawah rata-rata khususnya di mata pencaharian, yakni penenun, peternak, dan juga nelayan.
5. Film ini memperlihatkan sarana dan prasarana pendidikan di tempat yang jauh dari kota besar. Seperti jembatan yang tidak layak pakai, jalan yang rusak dan kurangnya transportasi umum.
6. Film ini menggangkat kekayaan alam yang dimiliki oleh Sulawesi tenggara.
7. Film ini juga memperlihatkan bagaimana perjuangn orang tua kita mencari rezeki untuk keperluan sekolah kita, maka dari itu sekolahlah dengan sungguh-sungguh, ingatlah perjuangan orang tua kita. Dan ketika kita berkecukupan maka jangan pernah bersombong dan memandang rendah orang lain, apalagi sampai menilai orang dari fisik dan juga status sosialnya karena pada dasarnya setiap manusia saling membutuhkan sekalipun ia mempunyai keterbelakangan mental dan tuna netra namun tidak menutup kemungkinan kita akan membutuhkannya suatu saat nanti.
8. Dalam film ini juga digambarkan bahwa pembelajaran tidak harus dalam kelas, contohnya kita bisa ajak murid belajar di alam dan memberikan mereka contoh dari alam. Hal tersebut dapat dengan mudah dipahami oleh siswa karena mereka sangat dekat dengan alam khususnya bagi anak-anak pedalaman.

Kekurangan dalam film ini :
Tidak diperlihatkan kelanjutan sekolah dari keempat anak tersebut, ceritanya berakhir di pembuatan jembatan yang menjadi impian oleh Ondeng yang sudah meninggal dan akhirnya mimpi itu diwujudkan oleh oring-orang disekitarnya.

Kesimpulannya :
Kurangnya tenaga pengajar di negeri kita khususnya di pedalaman, padahal di beberapa sekolah justru kelebihan tenaga pengajar. Juga minimnya fasilitas dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap wilayah pedalaman khususnya terhadap masyarakat kurang mampu atau perekonomiannya dibawah rata-rata.

Senin, 09 April 2018


Pondok Hijau Resto (halal) , Mapanget, Manado
Kurang lebih 5 KM dari arah Bandara Samratulangi dan harganya pun terjangkau, kamu harus coba! ! 






Pesona Rumah Belanda di tepi danau Tondano

Rumah belanda Tondano, Sulawesi Utara, Indonesia


Rumah Belanda ini menjadi daya tarik tersendiri di Tondano. Di sekitarnya ada beberapa rumah Belanda yang berdiri. Awalnya hanya satu, yakni rumah yang bercat kayu hitam. Lalu dibangun rumah lainnya dengan cat coklat, namun bernuansa lebih agak modern. Rumah Belanda tersebut di bangun pemiliknya karena terinspirasi dari rumah-rumah di belanda karena pemiliknya sering mengunjungi negara tersebut. 
Rumah Belanda ini menjadi spot favorit untuk sewa  berfoto baik di dalam ruangan, taman bunga, jembatan, di sini  juga tersedia pakaian khas noni Belanda, Jepang dan Korea untuk menambah kesempurnaan dari cantiknya pesona Rumah Belanda. 







Taman Wisata Purbakala Waruga Desa Sawangan

Taman purbakala pemakaman (Waruga) di Desa Sawangan


Jika anda berkunjung ke Sulawesi Utara, berkunjunglah ke salah satu tempat bersejarah dari Suku Minahasa, yaitu Taman Purbakala Waruga di Desa Sawangan, lokasinya terletak di kec Airmadidi Kab Minahasa Utara. 

Hanya memakan waktu sekitar satu jam apabila berkendara dari kota Manado menuju Sawangan. 

Waruga ada merupakan kuburan tua yang, bentuknya menyerupai peti dari batu yang posisnya berdiri waruga ini sudah berabad-abad usianya. Setiap ada yang mati masyarkat menguburkan jenazah di dalam peti tersebut dalam posisi duduk ini merupakan filosofi mereka yakni manusia di dalam kandungan posisinya

seperti itu. Setiap waruga berbeda ukuran dan simbol, untuk 1 waruga yang berukuran besar bisa di isi oleh satu keluarga, sedangkan mengenai simbol hewan dsb, ini merupakan simbol profesi atau status sosial mereka.Sapi misalnya itu menandakan bahwa orang tesebut biasa memburu, dan gambar manusia itu merupakan sosok pemimpin. namun pada abad ke-18, pemerintah kolonial Belanda mengumpulkan Waruga dan memerintahkan untuk tidak lagi melakukan penguburan dengan cara tersebut karena menimbulkan bau busuk dan menyebarkan berbagai penyakit kepada masyarakat. 

Jika sudah selesai melihat Waruga, sempatkan untuk melihat museum tempat penyimpanan benda-benda peninggalan keluarga yang di letakkan di dalam waruga. (NK)